Akarpost.com – Di tengah kondisi ekonomi nasional yang masih penuh tantangan, wacana penambahan tunjangan dan fasilitas bagi anggota DPR menjadi sorotan publik yang serius. Keputusan memberikan tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan kepada anggota DPR, yang sebelumnya menempati rumah dinas, memicu reaksi keras dari masyarakat. Banyak pihak menilai kebijakan tersebut tidak masuk akal, bahkan mengarah pada pemborosan anggaran negara.
Sebagai Ketua Bidang Politik dan Demokrasi HMI Cabang Bandar Lampung, saya menegaskan bahwa langkah ini adalah bentuk ketidakpekaan DPR terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Saat rakyat harus berhemat menghadapi harga kebutuhan pokok yang kian tinggi, DPR justru meminta kenyamanan tambahan dengan alasan fasilitas.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar. Data BPS per Juni 2025 mencatat bahwa angka kemiskinan nasional masih di kisaran 9,3%, dengan jutaan keluarga berada dalam garis rentan miskin. Harga pangan terus naik, biaya pendidikan semakin membebani, dan akses kesehatan masih belum merata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam kondisi seperti ini, kebijakan DPR yang memprioritaskan tunjangan pribadi justru mengkhianati semangat representasi rakyat. Wakil rakyat seharusnya merasakan denyut kehidupan rakyat, bukan malah hidup di menara gading yang penuh fasilitas mewah.
Sejak isu ini mencuat, Ketua DPR Puan Maharani memang telah mengklarifikasi bahwa tidak ada kenaikan gaji pokok anggota DPR. Namun, fakta bahwa diberikan kompensasi berupa tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan tidak bisa dipandang remeh.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menghitung, jika fasilitas ini berjalan selama lima tahun periode DPR, maka negara harus mengeluarkan sekitar Rp 1,74 triliun. Jumlah ini bukan angka kecil. Uang sebesar itu bisa digunakan untuk membangun ribuan ruang kelas baru, memperluas program bantuan pendidikan, atau menyediakan layanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin.
Sementara itu, survei Kompas TV menunjukkan mayoritas publik menolak kebijakan ini. Sebanyak 87% responden menolak tunjangan rumah dan tunjangan beras bagi anggota DPR. Bahkan, 92% publik menilai kinerja DPR belum terlihat signifikan. Fakta ini menunjukkan jarak yang semakin lebar antara DPR dengan rakyat yang mereka wakili.
Sikap DPR ini sangat kontras dengan langkah Presiden yang berkomitmen melakukan efisiensi anggaran. Presiden memahami betul bahwa kondisi fiskal negara harus dijaga, sehingga pengeluaran diarahkan pada sektor yang berdampak langsung bagi masyarakat.
Efisiensi yang dilakukan Presiden adalah bentuk tanggung jawab terhadap kondisi keuangan negara. Maka menjadi ironis ketika lembaga legislatif, yang seharusnya menjadi mitra kritis dalam menjaga keuangan negara, justru memperjuangkan tunjangan baru untuk kenyamanan pribadi.
Sebagai wakil rakyat, DPR seharusnya menyadari bahwa setiap rupiah uang negara berasal dari pajak rakyat. Dengan demikian, tanggung jawab moral dan politik DPR adalah memastikan uang itu kembali kepada rakyat dalam bentuk pelayanan publik yang lebih baik, bukan menambah fasilitas pribadi.
Daripada sibuk membicarakan tunjangan, DPR seharusnya memfokuskan diri pada tiga hal utama: legislasi, pengawasan, dan anggaran. Tugas ini sangat berat, terlebih di tengah situasi ekonomi global yang tidak menentu.
• Dalam legislasi, DPR harus menghasilkan regulasi yang mendukung pembangunan ekonomi, melindungi rakyat kecil, dan memastikan keadilan sosial.
• Dalam fungsi pengawasan, DPR harus mengawal setiap kebijakan pemerintah agar berjalan sesuai prinsip transparansi dan akuntabilitas.
• Dalam fungsi anggaran, DPR wajib memastikan bahwa APBN benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat banyak, bukan untuk memperbesar kenyamanan elite politik.
Jika DPR gagal menjalankan tiga fungsi ini, publik semakin kehilangan kepercayaan pada lembaga legislatif.
Saya menyerukan agar DPR segera meninjau ulang kebijakan pemberian tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan ini. Anggaran sebesar itu lebih baik dialihkan untuk memperkuat pendidikan nasional, layanan kesehatan, subsidi pangan, serta pemberdayaan ekonomi rakyat.
Sebagai organisasi mahasiswa, HMI selalu berdiri di barisan kritis terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Kami percaya, membangun demokrasi bukan hanya soal prosedur politik, tetapi juga soal keberpihakan pada rakyat dalam setiap kebijakan anggaran negara.
DPR tidak boleh melupakan jati dirinya sebagai wakil rakyat. Setiap kebijakan harus mencerminkan keberpihakan pada rakyat, bukan sebaliknya. Penambahan tunjangan pribadi di tengah kondisi sulit rakyat adalah ironi demokrasi.
Sebaliknya, DPR harus mencontoh langkah Presiden yang melakukan efisiensi. Hemat dalam anggaran bukan berarti anti-kesejahteraan, tetapi justru bentuk tanggung jawab moral terhadap rakyat yang setiap hari bergulat dengan harga kebutuhan pokok.
“Jika DPR ingin kembali mendapatkan kepercayaan rakyat, jalan terbaik adalah dengan menanggalkan privilese yang berlebihan dan menunjukkan kerja nyata dalam fungsi legislatif, pengawasan, dan anggaran.
Sebagai wakil rakyat, DPR seharusnya lebih mendahulukan kepentingan rakyat daripada kenyamanan pribadi. Uang negara adalah amanah, bukan privilese,” ketua umum hmi cabang bandar lampung tohir bahnan














