Oleh : Rahmad Panggabean, Ketua LSM Gerakan Anti Korupsi dan Penyelamatan Aset Negara (Gakorpan) DPD Prov Riau
Pelalawan, Riau – Jangan karena menyelamatkan Gajah, lantas Manusia digusur seperti hewan liar. Kalau ini bukan pelanggaran hati nurani, lalu apa lagi namanya?
Sudah beberapa bulan terakhir, kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) menjadi perhatian Nasional. Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) turun ke lapangan dengan berbagai operasi: menertibkan Perkebunan Sawit yang diberi lebel Ilegal, mencabut tanaman, bahkan menggusur pondok-pondok warga. Tujuannya, menurut mereka, adalah untuk mengembalikan fungsi hutan, terutama sebagai habitat Gajah Sumatera yang terancam punah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di atas kertas, ini terlihat mulia. Tapi di lapangan, yang terjadi justru sebaliknya. Maryarakat diperlakukan seolah-olah lebih buruk dari Margasatwa (hewan). Masyarakat yang menduduki kawasan TNRN dipaksa hengkang. Sementara Gajah diberi tempat.
Saya tidak membenarkan atau membela para perusak (perambah) hutan, tidak juga melawan konservasi. Tapi saya membela keadilan. Dan keadilan itu, sekecil apapun bentuknya harus dirasakan juga oleh masyarakat kecil.
Masyarakat di sekitar Toro Jaya, Air Hitam, dan desa-desa penyangga TNTN lainnya bukan perambah liar seperti yang diframing oleh negara. Mereka sudah puluhan tahun hidup di sana. Ada yang membangun pondok sejak 1990-an, ada yang punya anak dan cucu di sana. Mereka punya KTP, tercatat di Daftar Pemilih Tetap (DPT) saat Pemlu. Bahkan, rumah-rumah mereka tersambung listrik PLN. Pemerintah daerah pun mengenal mereka sebagai penduduk sah, walau tanpa sertifikat.
Tapi hari ini, mereka disebut “Penjahat Hutan”. Tanaman sawit mereka dicabut, rumah dibongkar dan mereka ditakut-takuti dengan ancaman hukum. Sementara tidak ada skema relokasi, tidak ada ganti rugi, tidak ada mediasi atau dialog bermartabat. Negara hadir seperti alat kekuasaan, bukan pelindung keadilan.
Saya ingin bertanya secara terbuka: Apa yang dimaksud dengan “restorasi hutan” kalau pada kenyataannya masyarakat terusir dan habitat gajah pun belum benar-benar dipulihkan? Di pinggiran TNTN memang ada seremoni penanaman pohon, tapi di zona dalam hutan, sawit-sawit tetap berdiri. Bahkan ada informasi bahwa sebagian kawasan hanya dikosongkan, tidak dihijaukan kembali.
Konservasi bukanlah proyek militer. Ia harus berbasis kolaborasi manusia dengan alam. Tidak boleh ada konservasi yang merampas, menggusur dan melukai. Jika konservasi dijalankan dengan cara menindas masyarakat, maka itu bukan penyelamatan lingkungan, itu adalah pelanggaran HAM dengan nama baru.
Dalam kisruh TNTN ini, tiba-tiba nama PT Agrinas Palma Nusantara mencuat. Sebuah BUMN yang katanya diberi mandat untuk mengelola lahan sawit sitaan dari perusahaan-perusahaann besar. Tercatat hingga Juli 2025, sudah lebih dari 800 ribu hektar lahan dialihkan ke mereka oleh negara.
Pertanyaan sederhana, jika TNTN hendak dikembalikan ke fungsi hutannya, kenapa muncul nama Agrinas Palma yang notabene adalah perusahaan sawit negara? Apakah sebagian kawasan TNTN yang disita dari masyarakat akan diberikan ke Agrinas Palma? Jika tidak, kenapa harus dilibatkan dalam narasi penertiban TNTN?
Ini bukan sekadar pertanyaan teknis. Ini menyangkut integritas negara. Jangan sampai konservasi hanya dijadikan alat legal untuk membersihkan kawasan dari masyarakat kecil, lalu digantikan oleh korporasi negara yang beroperasi dengan dalih pembangunan.
Kalau rakyat disebut perambah, lalu perusahaan sawit besar disebut apa? Investor?
Saya tidak menolak penyelamatan gajah. Tapi saya juga tidak bisa menerima bahwa manusia harus diperlakukan seperti hama. Anak-anak warga TNTN kehilangan sekolah, keluarga kehilangan tanah dan tidak ada ruang berdialog dengan pemerintah. Ini bukan sekadar konflik agraria, ini adalah pengabaian hak-hak asasi manusia dalam rupa yang paling terang-terangan.
Negara seharusnya hadir sebagai pelindung semua, bukan hanya pelindung hutan atau margasatwa (hewan). Negara tidak boleh mengorbankan manusia demi citra hijau atau demi kejar target proyek konservasi.
Jika negara lebih giat menyelamatkan gajah ketimbang menyelamatkan warganya sendiri, maka pertanyaan dasarnya adalah, siapa yang dianggap makhluk paling layak hidup di negeri ini?
Seruan Terbuka
Saya, sebagai Ketua DPD Riau LSM Gakorpan menyatakan :
1. Menolak segala bentuk penggusuran tanpa relokasi dan ganti rugi terhadap masyarakat di dalam dan sekitar TNTN.
2. Menuntut Pemerintah Pusat dan KLHK untuk membuka peta transparan, mana kawasan konservasi, mana kawasan sitaan dan siapa yang akan mengelolanya.
3. Mendesak Komnas HAM, Ombudsman dan Lembaga Independen Lingkungan untuk mengaudit proses penertiban TNTN, termasuk keterlibatan Agrinas Palma.
4. Mendorong model kolaboratif konservasi berbasis kemitraan masyarakat (seperti TORA dan role model KLHK), bukan pemaksaan top-down.
Kami tidak anti hutan. Kami tidak melawan gajah. Tapi kami menuntut satu hal : Jangan hancurkan manusia demi menyelamatkan hutan. Minggu, 13 Juli 2025. (Red)