BANDAR LAMPUNG – Ketua Divisi Penelitian dan Pengkajian Lab for Democracy Studies (LDS), Ahmad Syarifudin, menyoroti pentingnya memanfaatkan waktu non tahapan Pemilu secara produktif.
Menurut mahasiswa S3 Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini, banyak masyarakat bertanya-tanya mengenai aktivitas penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu setelah agenda Pemilu dan Pilkada selesai.
“Bagi masyarakat, wajar bila ada pertanyaan tentang apa yang dikerjakan penyelenggara Pemilu. Namun mengatakan mereka punya waktu luang sepenuhnya juga tidak tepat,” ujar Ahmad, Minggu (3/11/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menilai, di luar tahapan Pemilu, KPU dan Bawaslu tetap melakukan berbagai kegiatan administratif, sosialisasi, serta koordinasi lintas instansi. Namun, Ahmad menekankan pentingnya agar masa jeda ini difokuskan pada penelitian dan kebijakan berbasis riset demi peningkatan kualitas demokrasi.
Ahmad mengingatkan bahwa Provinsi Lampung masih masuk dalam 10 besar daerah dengan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) tertinggi di Indonesia.
Mengutip hasil riset Disway Research and Development, sebanyak 62,90 persen masyarakat Lampung masih permisif terhadap politik uang. Kondisi ini menunjukkan masih lemahnya kepercayaan publik terhadap hasil pemilu.
“Masalah politik uang tidak bisa hanya diserahkan pada Bawaslu, karena tanpa partisipasi KPU dan masyarakat, hasilnya tidak signifikan,” tegasnya.
Menurutnya, kolaborasi KPU dan Bawaslu berbasis riset kebijakan menjadi solusi penting. Penelitian perlu menggali siapa yang paling rentan terhadap praktik politik uang berdasarkan usia, pendidikan, atau faktor sosial keagamaan.
Ahmad mencontohkan hasil riset (Khoiriyah & Syarifudin, 2023) yang menemukan bahwa pemilih muda di Lampung permisif terhadap politik uang karena tidak menganggapnya dilarang agama. Karena itu, pendekatan berbasis keagamaan perlu dioptimalkan.
Selain itu, Ahmad menyoroti perlunya penelitian tentang aktor-aktor kunci di balik praktik politik uang. Biasanya, kata dia, mereka bukan bagian langsung dari tim kampanye, melainkan pihak ketiga yang sulit dilacak.
“Mengetahui siapa aktor utamanya penting agar pencegahan dan penegakan hukum lebih efektif,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa tingginya partisipasi pemilih tidak selalu menunjukkan keberhasilan demokrasi. Bisa jadi, sebagian besar pemilih hadir ke TPS karena motif ekonomi, bukan kesadaran politik.
Ahmad menilai, perbedaan pemahaman politik uang antarlevel penyelenggara Pemilu dari provinsi hingga desa masih tinggi.
Karenanya, ia mendorong KPU dan Bawaslu untuk membangun kurikulum pendidikan politik nasional yang berbasis hasil penelitian.
“Tanpa pengetahuan yang utuh tentang politik uang, masyarakat sulit menolak praktik tersebut. Diperlukan pendidikan politik yang terstruktur dan berbasis riset,” jelasnya.
Ahmad menutup dengan pesan bahwa kualitas demokrasi Indonesia hanya bisa ditingkatkan jika penyelenggara Pemilu mau merefleksikan kinerja, menguatkan kapasitas riset, dan menghasilkan kebijakan berbasis bukti.













