Bandar Lampung – Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Lampung bersama akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL) menggelar diskusi publik yang mengungkap persoalan serius terkait maraknya penyelewengan dana desa di Provinsi Lampung. Padahal, dana desa telah dikucurkan sejak 2015, (3/6/25).
Bantuan Tak Tepat Sasaran dan Lemahnya Tata Kelola Salah satu masalah utama yang terungkap adalah penyimpangan dalam penyaluran bantuan pangan, seperti beras, yang sering tidak sampai ke masyarakat. Saat ini, proses hukum sedang berjalan, termasuk penyidikan aktif oleh Polres Lampung Tengah, yang kini diambil alih oleh Polda Lampung.
Dirkrimsus Polda Lampung menjelaskan bahwa penyidikan kasus korupsi dana desa melibatkan banyak instansi, sehingga prosesnya berbeda dengan penanganan pidana biasa. Salah satu kasus mencolok melibatkan pemeriksaan 1.067 saksi terkait penyelewengan dana di Desa Bandar Agung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tantangan Struktural dan Sumber Daya, Polda Lampung telah melakukan pengawasan melalui Babinkamtibmas dan unit Tipikor di tingkat Polres. Namun, beberapa faktor utama mendorong kepala desa melakukan korupsi, antara lain:
1. Money politic saat pencalonan kepala desa.
2. Rendahnya pemahaman pengelolaan keuangan desa.
3. Tidak transparannya proses pengelolaan dana.
4. Penolakan pengawasan oleh aparat hukum atau LSM.
5. Tidak ada mekanisme check and balance.
6. Pengangkatan perangkat desa tidak berbasis kompetensi.
Provinsi Lampung memiliki 2.654 desa, masing-masing menerima sekitar Rp 1 miliar per tahun. Namun, banyak aparat desa tidak memahami UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa bahkan tidak tahu tugas pokok dan fungsinya, ungkap Dr. Zainudin (Akademisi UBL).
Karena nilai penyimpangannya di bawah Rp 1 miliar, penanganan kasus dana desa tidak masuk domain KPK, melainkan menjadi tanggung jawab kepolisian dan kejaksaan, Dr. Zainuddin menekankan pentingnya pengawasan oleh PERMAHI (Persatuan Mahasiswa Hukum Indonesia).
Minimnya SDM dan Peran Pengawasan Diskusi juga menyoroti kurangnya SDM kejaksaan yang mampu turun ke desa, serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang sering tidak memahami tugasnya atau terlalu dekat dengan kepala desa. Program seperti “Jaksa Garda Desa” dinilai perlu evaluasi karena keterbatasan kapasitas.
Tri Rahmadona (Ketua PERMAHI) menambahkan, tidak semua Babinkamtibmas dan Babinsa paham sepenuhnya peran mereka dalam pengawasan dana desa.
Solusi Kolaboratif Dirkrimsus Polda Lampung dan UBL sepakat bahwa solusi utama meliputi:
– Pengawasan sejak tahap awal penyaluran dana.
– Edukasi hukum dan tata kelola keuangan desa.
– Kolaborasi lintas sektor (masyarakat, aparat, akademisi, mahasiswa hukum).
PERMAHI berkomitmen melakukan intervensi melalui:
– Advokasi regulatif untuk aparat desa.
– Koordinasi dengan Inspektorat Provinsi dan audiensi dengan Gubernur Lampung.
– Pembinaan desa percontohan bersama akademisi.
Tri Rahmadona, menegaskan penyelewengan dana desa adalah masalah struktural dan sistemik. Kolaborasi semua pihak, termasuk mahasiswa hukum, menjadi kunci menciptakan pengelolaan dana desa yang transparan dan akuntabel. (red)