Oleh: Hariz A’Rifa’i
Alumni Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Intan Lampung
Dalam beberapa pekan terakhir, UIN Raden Intan Lampung menjadi pusat sorotan akibat sejumlah pemberitaan negatif yang mengarah kepada pimpinan kampus. Isu dugaan pungutan liar (pungli) dalam proses akademik dimunculkan dan digulirkan untuk menggiring opini publik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, jika dicermati lebih seksama, pola pemberitaan ini mengarah pada upaya sistematis pembusukan nama baik yang sarat dengan muatan politis menjelang Pemilihan Rektor (Pilrek).
Lebih dari sekadar isu pungli, rangkaian pemberitaan yang muncul akhir-akhir ini mencakup tudingan terkait proyek kampus dan dugaan pelanggaran di lingkungan pascasarjana.
Berita-berita ini, yang disusun dan disebarkan secara bertubi-tubi, menciptakan atmosfer gaduh yang tidak hanya mendiskreditkan individu, tetapi juga mencoreng reputasi institusi secara keseluruhan.
Jika ditilik secara objektif, pola semacam ini bukanlah bagian dari kritik konstruktif, melainkan serangan politis yang terstruktur dan penuh intensi destruktif.
Investigasi yang dilakukan sejumlah mahasiswa menemukan bahwa tudingan pungli tersebut tidak disertai bukti kuat. Komunikasi internal yang dijadikan landasan pemberitaan justru merupakan percakapan administratif biasa yang disalahartikan.
Namun demikian, pemberitaan terus digulirkan dengan nada provokatif dan tidak berimbang, cenderung menyerang personal ketimbang memberikan masukan substantif yang membangun.
Lebih mengkhawatirkan lagi, ini bukanlah kejadian pertama. Ada indikasi kuat bahwa sejumlah oknum dengan kepentingan tertentu sengaja menggunakan media sebagai alat untuk menekan dan mendiskreditkan pimpinan kampus.
Motif utamanya diduga berkaitan dengan perebutan akses terhadap proyek-proyek strategis di lingkungan kampus. Ketika media dijadikan alat manipulasi, maka integritas akademik dan tradisi intelektual kampus berada dalam ancaman serius.
Fenomena serupa juga dapat dijumpai di kampus lain, khususnya menjelang pemilihan rektor. Ini menandakan bahwa praktik-praktik destruktif semacam ini telah menjadi pola yang meluas, mengancam stabilitas dan integritas institusi pendidikan tinggi di tanah air.
Ironisnya, serangan terhadap figur pimpinan kampus ini berlangsung di tengah berbagai capaian membanggakan yang telah diraih UIN Raden Intan dalam beberapa tahun terakhir.
Kampus ini menjadi salah satu kampus Islam dengan jumlah peminat terbanyak di Indonesia, penerimaan 5.377 mahasiswa baru melalui jalur SPAN-PTKIN 2025.
Penambahan guru besar 47 orang, pembukaan 2 fakultas baru, bantuan klinik dan rumah sakit dari Walikota Bandar Lampung. Akreditasi Perguruan Tinggi “Unggul” serta sertifikasi ISO 9001:2025 dan ISO 21001:2018 dari British Standard Institution (BSI). Peringkat 5 besar PTKIN terbaik di Indonesia menurut Webometrics 2025.
Kampus Paling Berkelanjutan ke-9 di Indonesia dan ke-71 dunia menurut UI GreenMetric, serta Top 1 di lingkungan PTKIN. Prestasi jurnal internasional, dengan Jurnal Al-‘Adalah terindeks Scopus Q1 dengan SJR 0,372, serta banyak jurnal lain meraih Sinta 2, 3, dan seterusnya.
UIN Raden Intan Lampung juga berkontribusi dalam Penganugerahan gelar pahlawan nasional KH Ahmad Hanafiah. Penganugerahan Pahlawan Daerah Lampung kepada Wan Abdurachman, sosok yang turut membangun nilai-nilai kebangsaan dan keislaman, serta prestasi banyak lainnya.
Capaian ini merupakan hasil kerja keras kolektif sivitas akademika, dan menjadi bukti konkret kemajuan institusi di bawah nahkoda Prof. H. Wan Jamaluddin, Ph.D.
Namun, prestasi nyata tersebut tampaknya belum cukup untuk meredam upaya sistematis menciptakan kegaduhan dan merusak reputasi kampus. Ini bukan lagi soal kritik, melainkan strategi politik yang dirancang untuk menjatuhkan figur-figur tertentu demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Sudah saatnya dunia akademik dibersihkan dari praktik manipulatif dan politisasi kekuasaan yang mencederai nilai-nilai dasar perguruan tinggi. Kritik tetap harus hadir sebagai bagian dari budaya intelektual, namun harus dilandasi oleh data, niat baik, dan komitmen terhadap perbaikan. Kampus bukan ruang transaksi kepentingan, melainkan ruang pengabdian terhadap ilmu pengetahuan, etika, dan integritas.